Oleh:
Dikdik Dahlan
Sya’ban adalah nama bulan kedelapan dalam
urutan bulan menurut perhitungan kalender Qamariyah. Letaknya diapit oleh dua
bulan mulia, Rajab dan Ramadhan.
Rajab adalah salah satu di antara Asyhurul Hurum (empat bulan mulia) yang
ditetapkan Allah (QS. At-Taubah: 36).
Sedangkan Ramadhan, Rasulullah menyebutnya dengan Sayyidus Suhur (penghulu
bulan) yang diwajibkan berpuasa di dalamnya. Dan pada bulan itu pula Allah
menurunkan Alquran.
Karena kemuliaannya itu, banyak orang berburu berkah dengan meningkatkan frekuensi dan kualitas ibadahnya, baik di bulan Rajab maupun Ramadhan.
Rasulullah pernah menyatakan bahwa Sya’ban akan ‘dianaktirikan’ oleh umatnya, karena mereka sibuk berburu berkah pada bulan Rajab dan Ramadhan.
Karena kemuliaannya itu, banyak orang berburu berkah dengan meningkatkan frekuensi dan kualitas ibadahnya, baik di bulan Rajab maupun Ramadhan.
Rasulullah pernah menyatakan bahwa Sya’ban akan ‘dianaktirikan’ oleh umatnya, karena mereka sibuk berburu berkah pada bulan Rajab dan Ramadhan.
Sebagaimana dikisahkan oleh Aisyah RA, “Rasulullah banyak berpuasa (pada
Sya’ban) sehingga kita mengatakan, “Beliau tidak pernah berbuka dan aku tidak
pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan, dan
aku tidak pernah melihat Rasulullah banyak berpuasa (di luar Ramadhan) melebihi
Sya’ban.” (Muttafaq ‘alaih).
Ketika Rasulullah ditanya oleh Usamah bin Zaid mengapa beliau banyak berpuasa
di bulan Sya’ban, Rasul menjawab, “Karena bulan itu banyak dilalaikan
manusia, padahal pada bulan tersebut akan diangkat amalan-amalan seorang hamba
kepada Allah. Dan aku ingin amalanku diangkat dalam keadaan sedang berpuasa.” (HR Abu Dawud dan An-Nasa’i).
Dari hadis di atas, setidaknya ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik.
Pertama, dengan kemuliaan Rajab, Ramadhan maupun bulan haram lainnya, tidak
berati bahwa nilai keberkahan di luar bulan-bulan haram itu menjadi berkurang.
Seperti Allah dan Rasul-Nya menetapkan Multazam sebagai tempat mustajab doa,
tetapi bukan berarti berdoa di tempat-tempat lain tidak mustajab. Kedua,
beribadah di saat orang lain sedang lalai pasti akan terasa lebih berat. Namun,
karena berat itu pula maka nilainya menjadi berlipat.
Waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang paling nikmat untuk beristirahat
melepas lelah setelah seharian beraktivitas. Tapi di waktu itulah, Rasulullah
menganjurkan dan meneladankan untuk bangun, kemudian shalat tahajud,
beristighfar, dan berdoa.
Ketiga, mengamalkan sesuatu yang tidak diketahui oleh orang banyak tentu
mengajarkan kita untuk selalu beramal dengan ikhlas, jauh dari riya dan ingin
dipuji orang lain. Shalat berjamaah di masjid adalah perbuatan yang paling
berat dilakukan orang munafik, terutama shalat Isya dan Subuh. Karena kedua
shalat ini kemungkinan tidak dilihat orang lain.
Keempat, dengan banyak beribadah di bulan Sya’ban, termasuk berpuasa,
setidaknya bisa dijadikan arena pelatihan fisik sebelum memasuki Ramadhan.
Untuk itu, dengan waktu Sya’ban yang masih tersisa setengahnya, dan 15 hari
lagi akan memasuki Ramadhan, semoga kita bisa mengisi hari-harinya dengan
banyak beribadah kepada Allah agar kita menjadi insan mukmin yang bertakwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar